Cinta: Kekuatan Kedua Setelah Tuhan
Dengan cinta, yang pahit menjadi manis. Dengan cinta,
tembaga menjadi emas. Dengan cinta, sampah menjadi jernih. Dengan cinta, yang
mati menjadi hidup. Dengan cinta, raja menjadi budak. Dari ilmu, cinta dapat
tumbuh. Pernahkah kebodohan menempatkan seseorang di atas takhta seperti ini? ~
Jalaluddin Ar-Rumi
Menyiar dunia halusinasi, yaitu dunia maya,
kenyataan tak terlalu diperhatikan dan dipertimbangkan. Hanya mementingkan isi
luar dengan abai pada sisi dalam, itu memang salah satu ciri dari zaman digital
sekarang.
Tak jauh beda dengan apa yang dialami kita
sekarang. Di mana pun berada dan di manapun tinggal, ke sana-ke sini jarang
ditemui orang menyibukkan diri dengan membawa buku (bagi kaum pelajar),
mengenakan tas berat (untuk para pekerja), dan masih banyak lagi yang ditinggal
di rumah dan sudah terwakilkan dengan satu benda yang bernama smartphone.
Hal ini berjalan seirama dengan zaman digital
sebelumnya. Zaman yang menuntut adanya kemajuan teknologi dan—memang—harus
bermain dengan teknologi, dengan konsekuensi bila tak ikut campur akan terancam
tertinggal oleh masa. Hal tersebut yang saat ini dicoba untuk dihindari
sedemikian cara agar tetap dapat dikata “bergaya”.
Dengan demikian, timbul persoalan tentang
bagaimana menyikapi zaman yang makin berlajur, makin deras dengan teknologi
ini. Sedangkan di tangan kita pribumi[1], belum mencapai taraf kelayakan untuk
dapat dikata sepenuhnya cakap bermain teknologi.
Setelah budaya globalisasi masuk, rupanya tidak
membawa kabar baik. Malah kabar miring yang nyatanya ikut melunturkan adat asli
pribumi, digerusnya dan digantikan adat kebaratan yang dominan dengan laku
hedon, sekuler, dan lain lagi.
Tak jauh beda dengan masalah yang datang setelah
tantangan zaman teknologi, akhir-akhir ini tiba masalah baru. Tepatnya pada
2018, merupakan awal kelahiran virus yang berasal dari Wuhan, Cina. Virus yang
terkenal sudah berpandemi ini menetap hingga 2021 dan ujungnya belum menemui
titik cerah.
Tentu hal demikian tidak bisa disepelekan
berkait pula dengan masalah ekonomi negara yang tak kunjung membaik setelah
gelontoran dana negara dihaturkan untuk penanganan virus pandemi Covid-19, masa
paceklik untuk masyarakat kalangan bawah yang tak kunjung mendapati awan cerah
bagi pemenuhan sila kelima “keadilan sosial”.
Awali dengan Cinta
Sekelumit permasalahan di atas tak dapat kita
juluki enteng permasalahan yang bermunculan sebelumnya. Namun, untuk memecahkan
permasalahan yang berat bukanlah patut untuk kita menyelesaikan dengan gegabah,
yang bakalnya tidak akan menyelesaikan masalah malah menambahnya. Maka dari
itu, perlu beberapa konsep untuk dilengkapi sebagai pedoman atau ideologi.
Pertama, menimbulkan pemahaman awal bahwa lazimnya setiap
diri manusia pasti dan tidak akan diluputkan dari masalah. Jika hal demikian
sudah mengakar dalam kepala setiap orang, maka dimungkinkan setiap insan akan
menyelesaikan masalah dengan sewajarnya dan tidak akan gegabah.
Kedua, setelah pedoman tersebut, kita mencoba
menyelesaikan permasalahan dengan mengamalkan konsep “buang jadi uang”.
Artinya, dengan menjadikan sesuatu yang sudah tak terpakai untuk diolah menjadi
manfaat.
Bukan hendak merendahkan setiap karyawan pabrik
yang mulai dikurangi, atau buruh yang dipangkas gaji kerjanya, namun hal yang
terbuang bukanlah sesuatu yang hina, terlebih dalam masa yang dapat kita sebut
paceklik ini.
Hal-hal yang terbuang seperti sampah plastik,
limbah rumah tangga yang tak terpakai, tentu bisa dijadikan bahan usaha. Meski
untuk berkreatif sangat minim, yang pastinya penyetor bahan pasokan plastik dan
yang peduli terhadap lingkungan sangatlah minim. Maka hal tersebut merupakan
peluang jitu untuk menghasilkan penghasilan.
Sehingga bila kecintaan akan hal-hal yang remeh
seperti plastik sudah timbul dan tampak ke dasar pikiran kita, maka tentu
wilayah yang menyandang peringkat sampah kedua dunia, dengan persentase
penghasilan sampah 3,2 ton per tahunnya dapat teratasi.
Lantas, jargon yang menganggap bahwa “cinta
adalah kekuatan kedua setelah tuhan” adalah benar adanya. Karena hanya dengan
cintalah kita dapat mengubah hal pahit negeri menjadi buah manis. Berawal dari
kecintaan pada lingkungan dan sampah, maka masalah ekonomi bangsa bisa
ditangani.
[1] penghuni
asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan; inlander (kerap disinggung
dan dijadikan istilah oleh pramoedya ananta toer dalam karyanya bumi manusia)
Post Comment
Tidak ada komentar